“hei” suara Nada mengagetkanku dari lamunanku.
“hayo lagi ngapain pagi-pagi udah ngelamun di jendela, nungguin si itu yah? haha”
Pertanyaannya langsung membuatku memerah layaknya udang direbus.. yah,
tapi memang benar apa yang Nada katakan. Saat ini aku berdiri di depan
jendela kelas – tepatnya setiap pagi, sebelum pengajian pagi dimulai –
hanya untuk melihat Ashfar kembali ke kelas usai membereskan masjid
sekolah.
Siapa yang tak kenal Ashfar, sang ketua risma yg begitu ramah,
sholeh, menyenangkan dan agamis. Dari mulai guru, staff TU, satpam
sekolah, orang kantin, siswa-siwa, sampai tukang sapu sekolah pun
mengenalnya. Sebenarnya jika dilihat dari fisik, tidak ada yang istimewa
darinya, dia tidak tampan, tidak putih, juga tidak kaya. Namun hampir
di setiap kelas ada wanita yang mengaguminya. Mereka menyukainya bukan
karena fisik, lebih dari itu karena Ashfar sosok yang mempunyai kharisma
dan aura tersendiri, siapa saja yang melihatnya pasti akan jatuh cinta
padanya dengan keteduhan wajahnya.
Setelah Nada menyambarku dengan pertanyaan tersebut aku langsung
duduk di kursiku tanpa menggubris pertanyaannya, itu membuatnya semakin
antusias menggodaku. Namaku Syifa Nursabila Galen, namun teman-teman
akrab memanggilku Sabil, aku sekarang duduk di kelas XII dan tinggal di
sebuah pondok pesantren salafi di daerah Kaloran – Serang, Banten. Kami
sama-sama duduk di kelas XII Ipa 3, kami sudah cukup lama berteman. Dari
kelas X kami duduk satu meja, itu membuat aku dan Nada semakin dekat,
terlebih lagi kami memiliki banyak kesamaan hoby dan kebetulan satu
komunitas – komunitas film – . yah dialah salah satu sahabat terbaikku,
teman suka dan duka, teman curhat segala macam masalah, termasuk
kekagumanku terhadap Ashfar, pun dia tahu.
Aku juga tak tahu persis kapan tepatnya aku mencintainya, namun
seiring waktu bejalan, cintaku padanya terus tumbuh hingga berbunga.
Walaupun aku tahu, itu hanyalah khayalanku saja. Rasanya tidak mungkin
seekor rajawali nan gagah jatuh dalam ribahan merpati yang telah patah
sayapnya. Aku dan dia bagaikan langit dan bumi, yang tidak akan pernah
bertemu. Sosok lelaki sholeh idaman para akhwat cantik nan sholehah,
kader dakwah yang siap menyerukan agama-Nya ke seluruh pelosok dunia.
Sedangkan aku, perempuan biasa, ah amat biasa bahkan. Aku tak sesholehah
mereka (akhwat yang mengagumi Ashfar), tak serajin dluha mereka,
apalagi sabanding dengan mereka, sangat jauh. Namun itu semua tak pernah
menyurutkanku untuk selalu menjaga cintaku padanya.
Seperti biasa setiap hari minggu pagi, pengajian diisi oleh pemilik
pondok pesantren yang aku tempati, abah. Yah, santri di sini biasa
memanggilnya dengan sebutan abah. Namun tak seperti biasa, pengajian
hanya sampai jam 8, yang biasanya usai jam 12 kini hanya sampai jam 8.
Abah pun menyampaikan alasan kenapa pengajian tidak diteruskan,
alasannya yaitu karena katanya ada kerabat beliau yang meninggal dunia,
sehingga abah beserta keluarga harus segera berta’ziyah. Santri-santri
pun langsung menciumi tangan abah (kebiasaan yang dilakukan santri di
pondokku setelah pengajian usai) setelah membaca doa kafaratul majlis
dan bergegas meninggalkan majlis menuju kamarnya masing-masing.
Aku dan santriwati lainnya pun segera menuju asrama kami. Sesampainya
di kamar, aku langsung meletakkan kitab dan beristirahat sejenak
sebelum keluar pondok untuk mencari makanan. Setelah kurasa sudah cukup
untuk istirahat aku pun bangkit dan berniat keluar asrama untuk mencari
makanan, namun sebelum aku keluar, Indri, santriwati yang sekamar
denganku mengagetkanku. “teh sabil, handphonenya bunyi. Apa sebaiknya
tidak diangkat terlebih dahulu?!” ujar Indri. Aku pun langsung berbalik
badan dan mengangkat teleponnya, yang ternyata sahabatku, Nada yang
menelepon.
“assalamualaikum bil” terdengar suara Nada di kejauhan sana.
“wa’alaikumsalam, ada apa Da? Tumben banget jam segini udah telpon? Jawabku sambil duduk di tempat tidur.
“hari ini aku ga ada acara, aku boleh main ke pondokmu yah?” suara Nada yang memelas.
“hmm, gimana yah? Boleh deh, hehe” jawabku sambil diiringi oleh cekikikan Nada di sana yang kegirangan.
“oke deh, makasih yooo.. tunggu aku oke”
“oke, yaudah assalamualaikum”
“wa’alaikumsalam.. daaah” klik suara telpon mati.
Aku pun tidak jadi keluar karena takut Nada kesini aku tidak ada, karena
teman sekamarku sebentar lagi akan muthola’ah (sorogan) di majlis
bersama para senior.
Tak lama kemudian Nada pun datang dan langsung memelukku. Aku
persilahkan dia masuk dan kami langsung menghambur di tempat tidur. Kita
pun bercana-canda, cerita-cerita, walaupun sesekali dia mengingatkanku
pada Ashfar lewat banyolannya. Tiba-tiba saja Nada mulai mengubah nada
suaranya menjadi serius, yang membuatku keheranan dengan tingkahnya. Aku
pun langsung menanyakan padannya kenapa dia begitu. Tanpa basa basi
lagi dia langsung memberitahukanku sesuatu yang membuatku tidak percaya,
seakan jantungku berhenti berdetak, aku langsung kaku, lemas rasanya,
pikiranku entah pergi kemana.
Nada berkali-kali mengagetkanku, namun aku masih tak bereaksi. Untuk
kesekian kalinya dia mengagetkanku yang akhirnya aku sadar. Aku sungguh
tak percaya apa yang diucapkan Nada. Akupun berusaha mencerna kata demi
kata yang diucapkan Nada padaku. Nada mengatakan padaku bahwa sebenarnya
Ashfar juga memiliki rasa yang sama padaku, kabar ini dia peroleh dari
sepupunya yang kebetulan menjadi teman baik Ashfar. Aku masih tak
percaya, namun Nada tetap meyakinkanku sampai akhirnya aku pun percaya.
Setelah cerita Nada tempo hari tentang Ashfar, aku semakin malu jika
bertemu dengan Ashfar. Ini membuatku semakin tak konsentrasi, apalagi
sebentar lagi ujian Nasional.. namun aku berusaha sekuat tenaga untuk
tetap fokus pada ujianku.
Hari-hari pun berlalu, hingga ujian pun sudah di depan mata sehingga
kami siswa kelas XII sudah disibukkan dengan berbagai latihan dan
tryout, kegiatan-kegiatan ini yang membuat aku dan Ashfar sering sekali
bertemu, bahkan kami pernah berpapasan langsung, yang membuatku semakin
kelu, yang akhirnya kami pun berlalu tanpa sepatah sapaan. Yah, walaupun
aku dan Ashfar sudah saling mengetahui perasaan masing-masing, tapi
Ashfar tetap diam, dan itu yang membuatku semakin tetap
mempertahankannya. Ujian pun kami jalani dengan lancar dan Alhamdulillah
dengan hasil yang memuaskan, sehingga sampailah kami pada acara
perpisahan yang akan dilaksanakan besok.
Malam semakin larut, namun aku belum bisa memejamkan mataku seperti
insan di sekelilingku. Bukan karena aku memikirkan perpisahan besok,
bukan juga tentang kemana aku harus melanjutkan studi setelah lulus,
juga bukan tentang kesedihanku akan meninggalkan sekolahku yang tercinta
ini. Tapi aku memikirkan sesuatu yang seharusnya tidak aku fikirkan.
Aku memikirkan Ashfar, bagaimana kelanjutan hubunganku dengan Ashfar.
Dari tiga tahun yang lalu aku menyimpan perasaan ini dengan rapat sampai
aku lulus dia belum juga berani menyapaku. Lalu bagaimana jika setelah
ini aku tidak bertemu lagi dengannya. Entahlah, aku pun tertidur dengan
sendirinya.
Pagi ini sekolahku sangat ramai. Bagaimana tidak? Kesempatan
perpisahan ini dimanfaatkan oleh para alumni untuk reunian atau hanya
sekedar temu kangen. Semuanya bahagia, aku pun demikian. Tapi disatu
sisi aku tidak bisa mengekspresikan kebahagiaan atas kelulusanku, karena
bagaimanapun juga Ashfar tetap mengisi pikiranku dari semalam hingga
detik ini. Ku biarkan mata ini menjelajah seisi aula untuk menemukan
seseorang yang sangat aku rindu. Namun tetap saja aku tidak
menemukannya. Hingga akhirnya acara selesai, tapi aku tetap tidak sempat
bertemu dengannya. Sepertinya dia sengaja menghindar dariku. Aku
langsung menuju kamar mandi untuk berganti pakaian dan langsung menangis
di depan cermin yang sedari tadi aku tahan. Aku sedih, sangat sedih.
Hingga di acara terakhir pun aku tidak bisa bertemu dengannya. Aku pun
berniat untuk langsung pulang setelah berganti baju.
Selesai ganti baju aku bergegas pulang, hingga di depan pos satpam
aku dikagetkan oleh suara ikhwan yang aku kenal baik. Dhika memanggilku.
Aku pun menoleh. Setelah ku jawab salam darinya akupun langsung
menanyakan kenapa dia memanggilku. Dia pun mengatakan bahwa ada
seseorang yang ingin bertemu dengannya. Belum sempat Dhika selesai
mengucapkannya, seseorang sudah keluar dari pos satpam dengan
menyelipkan untaian senyuman yang membuatku melayang. Tepat sekali.
Ashfarlah yang keluar.
“assalamu’alaikum ukh” suaranya yang tiba-tiba membuatku hampir kehilangan kata-kata.
“wa.. wa’alaikumsalam” jawabku yang benar-benar tidak bisa menyembunyikan kegugupanku.
“afwan, ini nomor ponsel antum?” tanyanya sambil menunjukkan nomor ponsel yang ada di atas kertas.
“na’am itu nomor ana” jawabku. “bolehkah aku menyimpannya?” pintanya
dengan nada yang lembut.. aku pun mengiyakannya. Dan setelah itu
berakhirlah percakapan kami. Dia memohon diri untuk pulang duluan
begitupun aku yang segera pulang dengan hati yang berbunga-bunga..
selama aku mengenalnya, tak pernah sekalipun aku bersua dengannya, dan
hari ini, Oh My Allah..
Hari demi hari, minggupun berganti minggu, namun belum juga dia
menghubungiku. Aku hampir gila menunggu kabar darinya. Karena setelah
lulus aku tidak pernah lagi bertemu dengannya dan aku pun tak berani
untuk menanyakan kabarnya pada sahabatnya. Di satu sisi aku sedikit
bahagia dengan kabar yang aku peroleh, bahwa aku sudah diterima di salah
satu perguruan tinggi negeri Islam di Bandung. Namun itu pun sekaligus
membuatku tersenyum kecut, karena harapanku padanya semakin lenyap.
Beberapa minggu lagi aku harus meninggalkan tanah lahirku ini, Banten,
untuk tholabul ‘ilmi di tanah tetangga. Aku semakin tak menentu, aku
belum mendengar kabar darinya. Jangankan tahu dia kuliah dimana,
keberadaanya saja aku tak tahu.
Besok siang aku berangkat ke Bandung, namun kabar darinya belum juga
sampai di telingaku. Aku pun sudah pasrah, menyerahkan seluruhnya pada
sang Maha Cinta yang tiada pernah terputus cinta-Nya. Setelah semua
keperluan dan pakaianku sudah tersimpan di koper yang besok akan kubawa.
Aku langsung merebahkan tubuhku di tempat yang mungil namun cukup
nyaman bagiku. Baru saja aku akan memejamkan mata tiba-tiba ponselku
berdering, langsung aku ambil dan ternyata ada pesan yang cukup panjang
dari nomor yang tidak kukenal, kurang lebih seperti ini bunyi pesannya;
“assalamu’alaikum. Semoga Allah tetap melindungi kita dalam
lindungan-Nya aamiin. Ukh, ini ana Ashfar. ‘afwan ana baru menghubungi
antum sekarang. Bagaimana kabar antum? Ana harap kabar antum baik, ana
disini Alhamdulillah baik-baik saja. Selamat, ana dengar antum sudah
diterima di PTN yang antum mau, semoga semuanya dimudahkan. Syukron atas
doa-doanya, Alhamdulillah ana diterima di universitas Al-Azhar Cairo –
Mesir, dua bulan kedepan ana berangkat dan besok insyaAllah
tasyakurannya dengan teman-teman sebelum mereka berangkat ke kota PTNnya
masing-masing. Ana sangat berharap kedatangan antum besok di kediaman
ana jam 10.. jazakallahu khoiron katsiron”.
Degg.. lagi-lagi perasaanku tak menentu. Aku berulang-ulang membaca
pesan itu, tetap saja isinya sama. Aku bangga padanya, namun aku tak
bisa menolak kenyataan bahwa dengan demikian kami semakin jauh, apalagi
di negri orang, benua yang berbeda. Aku pun langsung menemui ibuku untuk
menunjukkan pesan itu pada beliau, aku ceritakan semua isi hatiku
terhadap Ashfar pada ibu. setelah ibu membacanya, kemudian ibu memegang
wajahku dan mengusap butiran bening di sudut mataku yang sedari tadi
turun, dan mengatakan bahwa aku tidak diizinkan untuk menghadirinya
karena aku harus tetap berangkat ke Bandung, dengan tersenyum dan tetap
tenang ibu berkata “Allah tidak tidur, apa yang ada di hatimu pun Dia
tahu. Jika memang dia terbaik untukmu tentu saja Allah akan mendekatkan
kalian, di manapun kalian berada dan sebaliknya sedekat apapun kalian
jika Allah tidak menghendakinya maka akan terpisah begitu saja. Yakinlah
jodoh tak akan kemana, jodoh tak akan salah alamat”. Ibu menyelesaikan
nasehatnya dengan memelukku.
Ibu mengantarku ke tempat tidur. Setelah ibu keluar, aku langsung
membalas pesannya, aku katakan permohonan maafku padanya bahwa aku tidak
bisa menghadiri tasyakurannya karena tidak diizinkan karna
keberangkatanku ke Bandung tidak bisa ditunda. Beberapa menit kemudian
aku mendapat balasan pesan darinya.
“Alhamdulillah antum baik-baik saja. Laa ba’sa ukhti tidak datang,
asalkan ukhti berkenan untuk mendoakan ana agar dilancarkan. Memang
benar apa yang dikatakan ibu ukhti, tidak harus dipaksakan. Namun ukhti
harus tetap percaya, selama kita masih memandang langit yang sama
perasaan ana akan tetap seperti semula, dan kita tetap masih di bumi
Allah, kita tidak pernah jauh. Semoga Allah mempertemukan kita dalam
kesempatan yang di ridloi-Nya. Tunggu ana kembali, tunggu ana menjemput
antum menjadi “huurun” ana”. Air mataku pun terus mengalir membaca
pesan itu. Yah memang benar, kita masih memandang langit yang sama.
Tepat pukul 10 siang aku berangkat ke Bandung. Selama aku di sini,
aku tetap istiqomah untuk menjaga hatiku hanya untuk Ashfar. Sekarang
aku sudah dua tahun disini dan selama itu aku tetap menjaga hatiku
untuknya walaupun sejak saat itu tak ada lagi kabar, bahkan nomor
ponselnya pun sudah tidak aktif lagi, namun aku tetap percaya dan
menyerahkan semuanya kepada Allah yang walaupun aku tak tahu kapan aku
bisa dipertemukan kembali dengan cinta dalam diamku.. selama kita masih
memandang langit yang sama.. :)
~End~
Sabtu, 16 November 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar